Almarhum Dodi Triono, arsitek korban pembunuhan di Pulomas, Jakarta Timur, diketahui tiga kali menikah dan dikaruniai enam anak.
Pernikahan pertamanya dengan Sri Dewi (54), seorang notaris.
Dari pernikahan Dodi dan Dewi, lahir tiga anak, yakni Setya Detri, Andina, dan Andini.
Namun, pernikahan mereka kandas pada sejak enam tahun silam.
Dodi lalu menikah untuk kali kedua.
Istri kedua bernama Almynda Saphirra (40).
Dari pernikahan kedua itu, lahir tiga putri, yakni Diona ArikaAndra, Zanette Kalila Azaria, dan Dianita Gemma.

Dodi Triono dan istri ketiganya, Agnesya Kalangi.
Lagi, pernikahan Dodi untuk kali kedua berujung cerai sejak sejak tiga tahun lalu.
Terakhir, Dodi menikah dengan Elsya Agnesya Kalangi (19), sejak tahun 2015 secara siri.
Oleh putri Dodi, Agnesya dipanggil "mama baru".
Oleh putri Dodi, Agnesya dipanggil "mama baru".
Kini, Agnesya harus menerima kenyataan pahit.
Dia
yang berakrier sebagai model harus ditinggal pergi suami untuk
selama-lamanya karena menjadi korban pembunuhan secara sadis oleh pelaku
Ramlan Butar Butar dan Erwin Situmorang.
Padahal, wanita asal Makassar ini dikabarkan sedang hamil tujuh bulan.
Sang calon buah hati pun harus menjadi yatim sejak dalam kandungan.
Dodi kini pergi untuk selama-selamanya meninggalkan orang-orang tercinta, anak dan istri yang masih hidup.
Selain itu, alumnus Universitas Indonesia tersebut juga pergi meninggalkan banyak harta benda.
Setidaknya, dua rumah di Pulomas, termasuk tempat pembunuhan.
Pria
yang semasa hidupnya itu menjabat ketua rukun tetangga atau RT juga
mengoleksi mobil sport merek Lamborghini, Ferrari, Bentley, Hummer,
Porsche, Mercedez Benz.
Juga MPV premium Vellfire serta mobil mini Mini Cooper, dan Jeep Wrangler.
Lalu, kepada siapa bakal diwariskan mobil dan rumah tersebut?
Tentu kepada putra dan putrinya yang masih hidup, selain Diona dan Gemma yang turut menjadi korban pembunuhan.
Merekalah menjadi ahli waris.
Namun, apakah anak dikandung Agnesya juga akan mendapatkan warisan?
Namun, apakah anak dikandung Agnesya juga akan mendapatkan warisan?
Terkait masalah itu, ada jawabannya.
Berikut ini penjelasan dikutip dari klinik hukum daring, Hukumonline.com.
Mengenai anak yang lahir dari perkawinan siri ini masih menjadi perdebatan yang cukup panjang.
Menurut
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyebutkan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.”
Namun,
perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama
atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam.
Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUP yang menyatakan,
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Tanpa
adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri
hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya.
Pasal
42 UUP menyebutkan bahwa, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP
menyebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Ini
juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang
berbunyi, ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.”
Oleh
karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Jika
berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUH Perdata, maka anak luar nikah
yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar nikah yang
diakui oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar nikah yang disahkan pada
waktu dilangsungkannya pernikahan antara kedua orangtuanya.
Untuk
anak luar nikah yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh
Ppewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP,
sehingga pasal tersebut harus dibaca:
“Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Jadi anak luar nikah tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris.
Namun
demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan
hukum antara pewaris dengan anak luar nikahnya tersebut, maka pengakuan
anak luar nikah tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak
kandung pewaris.
Artinya, anak luar knikah tersebut dianggap tidak ada.
Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil pernikahan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya (walaupun secara tekhnologi dapat dibuktikan).
Pendapat
ini juga dikuatkan oleh Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tanggal 10
Maret 2012 yang menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas
wasiat wajibah.
Bagi
Agnesya, sebagai istri siri, dia akan kehilangan atau tidak sepenuhnya
mendapat hak-hak yang biasa diterima oleh dua mantan istri Dodi.
Istri
secara hukum negara tidak berhak untuk menuntut hak pembagian harta
gono-gini, karena pernikahan mereka oleh negara dianggap tidak pernah
terjadi.
(*)http://bangka.tribunnews.com/2017/01/06/tinggalkan-banyak-harta-agnesya-dan-anaknya-tak-bakalan-dapat-warisan-dodi-inilah-sebabnya?page=all